Tuesday, 7 April 2015

JOKOWI, LAGI TIDAK DIPAHAMI, ATAU LAGI DIKERJAI


Presiden Jokowi tiba-tiba tampak geram saat ditanya soal Perpres No 39/2015 yang menaikkan tunjangan mobil pejabat negara. "Bukan masalah kecolongan. Harusnya setiap hal yang berkaitan dengan uang negara yang banyak mestinya disampaikan dalam rapat terbatas atau rapat kabinet. Tidak lantas disorong-sorong seperti ini," ujarnya di Bandara Soekarno-Hatta, Minggu (5/4) lalu.

Menurut Jokowi sekarang bukanlah saat yang tepat untuk menaikkan fasilitas pejabat negara: pertama, karena kondisi ekonomi; kedua, dari sisi keadilan; dan ketiga, sisi (harga) BBM. Jokowi mengaku menandatangani perpres tersebut, tetapi dia tidak tahu isi detilnya. Mestinya menteri menjelaskan isinya sehingga dirinya tidak perlu menandatangani kebijakan yang mencederai rasa keadilan rakyat.

Ini bukan pertama kali Presiden Jokowi mengungkapkan kecewa atau amarah kepada anak buahnya di hadapan publik. Dia kesal karena tidak dilapori harga beras telah turun. Jokowi juga minta agar Menkumham tidak meneruskan rencana memberikan remisi terpidana koruptor. Malah, pada bulan pertama berkuasa, Jokowi sudah menunjukkan jengkelnya kepada pimpinan TNI karena dia harus memberi perintah sampai tiga kali untuk menenggelamkan kapal asing ilegal.

Jika demikian, apa sesungguhnya yang terjadi? Ada beberapa kemungkinan.

Kemungkinan pertama, visi, misi, dan program atau Nawa Cita Jokowi sebenarnya belum dipahami benar oleh anak buahnya, khususnya para menteri. Maklum, sebagian besar menteri tidak terlibat dalam penyusunannya. Tentu mereka sudah baca teks Nawa Cita, tetapi pemikiran di balik rumusannya belum tertangkap. Akibatnya banyak menteri yang tidak tahu harus berbuat apa. Padahal Kabinet Kerja adalah kabinet yang harus bekerja, ada atau tidak ada perintah dari presiden.

Kemungkinan kedua, para menteri sesungguhnya tidak hanya menjalankan perintah presiden, tapi juga menjalankan agenda orang-orang yang menjadikannya menteri. Hanya ada beberapa menteri yang ditunjuk sendiri oleh Jokowi, sebagaian besar lainnya disorongkan para patron: Megawati (PDIP), Muhaimin (PKB), Surya Paloh (Nasdem) Wiranto (Partai Hanura), Jusuf Kalla (wakil presiden), dan Hendro Priyono (mantan tim kampanye). Jika perintah Jokowi dan para bokir seiring sejalan, tentu positif, tapi jika berbeda maka kemandegan atau kekacauan yang terjadi.

Kemungkinan ketiga, sebagai tim yang baru bekerja selama enam bulan, Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan para menteri sesungguhnya sedang saling mempelajari bagaimana tim inti pemerintahan nasional ini bekerja. Hanya beberapa menteri saja yang pernah kerja bersama Jokowi dan Jusuf Kalla. Bahkan Jokowi dan Jusuf Kalla pun tampak sedang saling menyesuaikan. Dalam situasi seperti ini, bisa dimengerti jika di sana sini terjadi salah pengertian dan salah tindakan.

Kemungkinan keempat, Jokowi sedang belajar jadi presiden, belajar jadi pengendali pemerintahan nasional. Dalam hal ini pengalaman jadi walikota dan gubernur memang tidak cukup. Pada tingkat nasional, tidak hanya volume pekerjaan yang lebih besar, tetapi pemainnya juga lebih banyak. Para patron politik adalah pemain yang tampak, tetapi jangan dilupakan pemain yang tidak tampak: pengusaha besar dan raja preman. Sambil belajar jadi presiden, Jokowi bisa membuat peta politik dan bisnis, sehingga kelak takkan segan bertindak galak: memecat mereka yang tidak loyal, tidak perform, dan tidak punya integritas.

Mungkin saja masih ada kemungkinan lain. Tapi empat kemungkinan itulah yang bisa kita baca dari penampilan atau tepatnya kesemrawutan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang baru beru berusia enam bulan ini. Empat kemungkinan itu tidak ada yang paling menonjol, dan bisa saja terjadi hampir bersamaan waktu. Hanya saja, kemungkinan keempat, boleh dibilang lebih merupakan harapan daripada kenyataan. Namun kenyataan yang diharapkan itu bukan tanpa preseden. 

Pertama, pada saat semua pimpinan partai berkumpul di Solo tempo hari, dan mendesaknya agar melantik Budi Gunawan, besoknya Jokowi justru membatalkan pelantikan yang bersangkutan. Kedua, pada saat Megawati dan Jusuf Kalla menunjukkan ketidaksukaannya terhadap pelantikan Luhut Pangaribuan menjadi pejabat di Istana, Jokowi justru melantiknya menjadi kepala staf kepresidenan. Dan ketiga, pada saat menjadi walikota dan gubernur, Jokowi kerap sekali memecat orang-orang yang kinerja dan lakuknya buruk. Dalam hal ini Gubernur Ahok pun mengakui, Jokowi lebih tegas dan tega memecat orang daripada dirinya.

Pertanyaannya, apakah Jokowi masih butuh waktu untuk menjalankan visi misinya sendiri dan bertindak tegas terhadap para pejabat yang tidak perform dan tidak loyal? Jika waktu enam bulan belum dianggap cukup, maka benar sangkaan para lawan politiknya: dia bukan pemimpin nasional, tapi hanya lokalan. Untuk memastikan hal itu cukup dengan melihat perkembangan Polri dengan satu pertanyaan: apakah Jokowi bisa menertibkan Mabes Polri setelah Komjen Badrotin Haiti resmi menjadi Kapolri nanti? Jika perintahnya agar polisi tidak melakukan kriminalisasi tetap diabaikan, itu berarti Jokowi memang kelasnya masih lokalan.(Merdeka, 7 April 2015)

1 comment: